Rabu, 24 April 2013

Dinamika pada Ekosistem Hutan Mangrove.

I.      PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

Hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia yaitu ± 2,5 juta hektar melebihi Brazil 1,3 juta ha, Nigeria 1,1 juta ha dan Australia 0,97 ha (Noor dkk, 1999). Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 5.209.543 ha sedangkan pada tahun 1993                         menjadi 2.496.185 juta ha, terjadi penurunan luasan hutan mangrove sekitar 47,92 %. (Dahuri, 2001).

Menurut Bengen (2001) bahwa vegetasi mangrove terdiri dari            12 genera tumbuhan barbunga yaitu; Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Brguiera, Ceriops, Xilocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Snaeda, dan Conocarpus  yang termasuk kedalam delapan famili kemudian dipertegas oleh Nybakken (1988), mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang terdiri dari 12 genus tumbuhan berbunga dalam  8 famili yang berbeda dan didominasi oleh genus Rhizophor, Avicennia, Sonneratia, dan Bruguiera.  Sedangkan Komposi hutan mangrove terdiri dari 89 species pohon, 5 jenis palem, 44 species epifit, dan 1 species sikas, dengan komposisi jenis pohon aslinya adalah Avicennia spp, Bruguiera spp, Rhizopora spp, dan Sonneratia spp. Mangrove ini berkembang di habitat dengan ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Bengan (2001), sebagai berikut :

1.    Tumbuh pada daerah intertidal yang tanahnya berlumpur atau berpasir.

2.    Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah)  yang berfungsi untuk menurunkan salinitas menambah pasokan unsur hara dan lumpur.

3.    Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.     Air payau dengan salinitas 2-22 ppm atau asin dengan salinitas mencapai 33 ppm.

Kegunaan mangrove banyak dan beragam. Referensi terkemuka mengenai pemanfaatan spesies mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni penggunaan  Rhizophora.  Seringnya digunakan sebagai sumber pangan pada musim paceklik, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk kayu bakar, menghasilkan tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman yang memiliki efek aprodisiak bagi lelaki dan efek pengasihan bagi wanita.  Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar, arang, tanin, zat warna, bahan makanan, bahan obat, bahan baku dan lain-lain. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi).

Beberapa ahli mendefenisikan mangrove” secara berbeda, namun pada dasarnya merujuk ke hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wigtman (1989) mendefenisikan mangrove baik secara sebagai tumbuhan juga didefenisikan sebagai informasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Sementara Soeria Negara (1987) mendefenisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur alluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avcennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Lummitzera, Exocaecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Seyphyhera dan nypa.

Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut (Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997).

Ekositem hutan mangrove sering disebut ekosistem hutan rawa dan ekosistem hutan pasang surut. Disebut ekosistem hutan rawa  karena terdapat di daerah payau (estuaria), yaitu daerah yang memiliki kadar garam atau salinitas pada perairannya berkisar antara 0,5 - 30‰. Dan  disebut ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah pasang surut,  (Indrianto, 2006).  Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala.

Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara sungai, dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut dengan halopita (halophytic).

Lingkungan salin terutama menyebabkan 2 (dua) bentuk cekaman (stress) pada tumbuhan, yaitu cekaman osmotik (osmotic stress) dan cekaman keracunan (toxicity stress) (Jacoby, 1999). Poljakoff-Mayber dan Lerner (1999) menyatakan bahwa selain menyebabkan kedua hal di atas, akar tumbuhan halopita, termasuk vegetasi mangrove, juga akan mengalami cekaman oksigen yang sedikit (low oxygen pressure strees). Cekaman oksigen yang dialami akar tumbuhan mangrove terjadi karena tanahnya secara periodik digenangi oleh pasang air laut.

Selain itu kondisi lingkungan di atas, sebagian besar hutan mangrove tumbuh baik di daerah tropis yang memiliki radiasi sinar matahari dan suhu yang umumnya tinggi. Sehingga tumbuhan mangrove juga mengalami cekaman radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.

Berbagai kondisi lingkungan ekstrim tersebut, yakni lingkungan salin, tanah jenuh air, radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi akan menyebabkan terganggunya metabolisme tumbuhan dan pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya produktivitas atau laju pertumbuhan tumbuhan. Walaupun demikian, hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan ekstrim tersebut dan berdasarkan berbagai pustaka diketahui bahwa hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi.

Bagaimana dinamika hutan mangrove menghadapi lingkungannya ? itulah yang merupakan inti penulisan.

I.       ADAPTASI, ZONASI DAN SUKSESI

 

 

A.   Adaptasi

Adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Organisme yang mampu beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk:

·         memperoleh air, udara dan nutrisi (makanan).

·         mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur, cahaya dan panas.

·         mempertahankan hidup dari musuh alaminya.

·         bereproduksi.

·         merespon perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Organisme yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis.

Spesies mangrove berhasil tumbuh di lingkungan air laut karena memiliki beberapa bentuk adaptasi khas. Adaptasi ini umumnya terkait dengan upaya untuk bertahan dalam kondisi salin, bertahan dalam tanah lumpur anaerob dan tidak stabil, radiasi matahari, suhu yang tinggi serta untuk perkembangbiakan. 

1. Salinitas

Tumbuhan menghadapi berbagai masalah untuk tumbuh di dalam atau di dekat air laut yang secara fisiologi ‘kering’, karena kebanyakan jaringan tumbuhan dan hewan lebih encer daripada air laut. Agar terjadi osmosis, air harus bergerak dari tempat yang konsentrasinya lebih rendah (hipotonis) ke  konsentrasi tinggi (hipertonis). Akibatnya air dari dalam jaringan tumbuhan dapat berpindah ke tanah salin, sehingga tumbuhan menjadi layu dan mati.

Lingkungan yang keras dan tidak stabil ini menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis. Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas, tetapi mangrove yang dua kali sehari tergenangi air laut dapat bertahan. Semua pohon, semak, palem, tumbuhan paku, rumput, liana dan epifit yang berhabitat di hutan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan air laut dengan perbandingan seimbang                 (50% : 50%).  Lebih dari 90% tumbuhan mangrove dapat mencegah masuknya garam dengan filtrasi pada akar. Garam yang tetap terserap ke dalam tubuh dengan cepat diekskresikan   oleh kelenjar garam di daun, sehingga daun tampak seperti ditaburi kristal garam dan terasa asin. Beberapa tumbuhan menyimpan garam dalam kulit kayu atau daun tua yang hampir gugur. Tingginya kadar garam pada lingkungan mangrove akan menyebabkan  tingginya konsentrasi garam dalam jaringan, sehingga terjadi gangguan metabolisme.

Fluktuasi salinitas di hutan mangrove dipengaruhi pasang-surut dan iklim. Selama musim hujan jumlah air yang menggenangi mangrove dan deposit sedimen bertambah. Beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada danau air tawar di dataran tinggi, sedangkan di Kebun Raya Bogor Bruguiera sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke air tawar tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies lain, sehingga tumbuhan mangrove mengembangkan adaptasi untuk tumbuh di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan. Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar sekresi untuk membuang kelebih garam dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam jaringan.

Beberapa jenis tumbuhan mangrove toleran terhadap konsentrasi garam di jaringannya dan garam ini dikeluarkan melalui kelenjar-kelenjar khusus yang terdapat pada daunnya. Menurut Scholander (1968) dalam Tanasale (1997), tumbuhan mangrove terbagi atas dua golongan, yaitu (a) secreter, yakni jenis­jenis mangrove yang memiliki struktur kelenjar garam (salt gland) seperti Avicennia spp., Aegiceras spp., dan Aegialitis spp., dan (b) non-secreter, yaitu jenis-jenis mangrove yang tidak memiliki struktur kelenjar garam seperti Rhizophora spp., Bruguiera spp., Lumnitzera spp., dan Sonneratia spp.

Gambar 1. Kelenjar Garam

Lebih lanjut Shannon et al., (1994) menyatakan bahwa pada umumnya adaptasi terhadap salinitas tergolong rumit yang merupakan formasi dan struktur kelenjar garam yang terdapat pada daun (Gambar 1) atau penukaan epidermis batang di bawah ini.


 

Pada gambar 1 di atas,  (A) penampang melintang kelenjar garam pada daun Limonium gmelini. Secara relatif kelenjar terdiri dari 16 sel kelenjar, dimana pada simplas kontak via 4 sel pengumpul (CC: collecting cells) dengan sel mesofil mengandung kloroplas. Sel-sel kelenjar tertutup di permukaan daun oleh lapisan lilin (terlihat berwarna hitam) dan hanya terbuka pada tempat khusus, yaitu pori (P) (Ruhland, 1915 dalam Mohr dan Schopfer, 1995). (B) diagram melintang dari rambut ‘kandung kemih’ (bladder hair) pada daun Atriplex spongiosa. Empat tempat  (membran) yang dilalui dalam transpor NaCl: transisi dari apoplas ke simplas (a), pergerakan ke vakuola sel epidermal (epidermal cell) yang dapat menyimpan NaCl (b), pergerakan dari sel tangkai (stalk cell) ke sel ‘kandung kemih’ yang berhubungan dengan retikulum endoplasmik yang memotong vesikel (c), dan peleburan (fusi) vesikel dengan tonoplas sel ‘kandung kemih.’ (Fahn, 1988 dalam Mohr dan Schopfer, 1995). (C, D) Aegiceras corniculatum, (E, F) Acanthus ilicifolius, dan (G, H) Avicennia marina (Tomlinson, 1986).

Halopita merupakan tumbuhan yang mekanisme pengeluaran garamnya kurang kuat pada sistem akar, seringkali memiliki suatu proses desalinasi pada parenkim daun melalui pengeluaran yang aktif. Pada umumnya pengeluaran garam dalam jumlah kecil saja sudah dapat memperbesar kelangsungan hidup dari tumbuh-tumbuhan yang keberadaannya stres pada garam. Sementara salt-excretion secara normal sangat selektif terhadap ion Na+ dan Cl-, tetapi berlawanan dengan ion-ion hara (Shannon et al., 1994).

Sedangkan pada jenis jenis mangrove non-secreter kehilangan garam terjadi ketika daun atau bagian tumbuhan lain gugur (Clogh et al., 1982). Berdasarkan pengamatan, jenis jenis mangrove non-secreter memiliki kulit luar yang mati yang jauh lebih tebal dibandingkan jenis jenis mangrove yang memiliki kelenjar garam. Kulit luar yang mati pada jenis jenis non-secreter berkisar antara 0,5 – 1 cm (Percival dan Womersley, 1975; Onrizal, 1997). Kulit luar yang mati dan tebal tersebut kemudian mengelupas dan lepas dari tumbuhan serta digantikan oleh kulit yang baru. Mekanisme hilangnya kulit yang mati dan tebal pada jenis jenis mangrove non-secreter merupakan salah satu mekanisme hilangnya garam dari tumbuhan tersebut.

Sekresi garam 

Beberapa tumbuhan mangrove seperti  Avicennia, Acanthus dan Aegiceras corniculata memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi garam dalam getah biasanya tinggi, sekitar 10% daripada air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diterbangkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan menjilat daun tumbuhan mangrove atau bagian lainnya.

Gambar 2. Kristal garam pada permukaan daun Acantus illicifolius

 

Ultrafiltrasi

Tumbuhan mangrove seperti : Bruguiera, Lumnitzera, Rhizophora, dan  Sonneratia tidak memiliki alat sekresi. Membran sel pada permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam. Mereka secara selektif hanya dapat menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak selalu berlangsung sempurna, untuk itu kelebihan garam dibuang melalui transpirasi melalui permukaan daun (stomata) atau disimpan di dalam daun, batang dan akar, sehingga seringkali daun tumbuhan mangrove memiliki kadar garam sangat tinggi. Sebagian spesies mangrove menyimpan kelebihan garam dalam daun tua yang akan segera gugur atau kulit kayu.

 

 2. Akar

Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut, asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu melakukannya. Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas). Akar di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak lubang-lubang kecil di kulit kayu sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di tanah lumpur yang lembut.

Pneumatofora (akar napas) adalah akar tegak yang dapat merupakan alat tambahan dari atas batang atau pemanjangan sistem akar di bawah tanah. Akar ini, sebagian atau seluruhnya, tergenang dan terpapar setiap hari, sesuai dengan pola aliran pasang-surut. Pada saat terpapar, akar dapat menyerap oksigen. Lumpur mangrove bersifat anaerob (miskin oksigen) dan tidak stabil.  Tumbuhan yang berbeda dapat memiliki bentuk akar yang berbeda pula untuk beradaptasi dengan kondisi ini. Akar horizontal yang menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal ke atas merupakan jangkar untuk mengait pada lumpur yang labil. Sistem perakaran di bawah tanah dapat lebih besar dibandingkan sistem perakaran di atas tanah.

Terdapat 4 (empat) tipe pneumatofora, yaitu (1) akar penyangga (stilt or prop), (2) akar pasak (snorkel, peg or pencil), (3) akar lutut (knee or knop), dan (4) akar papan (ribbon or plank). Tipe akar pasak, akar lutut dan akar papan dapat berkombinasi dengan akar tunjang (buttres) pada pangkal pohon. Sedangkan akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke atas tanah.    

Akar penyangga (sangga)

Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal batang untuk menyangga batang. Akar ini dikenal sebagai  prop root dan pada akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat ke atas hingga tidak lagi menyentuh tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu aerasi ketika terekspos pada saat laut surut.

 

 

 

 

 


 

Gambar 3. Akar penyangga pada Rhizophora

 

Akar pasak

Pada  Avicennia  dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau pasak dan umumnya hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada Sonneratia tumbuh lebih lambat namun dapat membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50 cm. Pada ekosistem alami mangrove di teluk Botany, Sidney masih dapat dijumpai pohon Avicennia marina yang memiliki pneumatofora setinggi lebih dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar 4 m.

Gambar 4. Akar pasak pada Avicennia

Akar lutut

Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah, dan secara teratur tumbuh vertikal ke atas kemudian kembali tumbuh ke bawah, sehingga  berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Setiap akar horizontal dapat membentuk rangkaian lutut dengan jarak teratur ecara berulang-ulang. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan   karena tersebar sangat luas dapat menjadi tempat bertahan di lumpur yang tidak stabil.  Lumnitzera membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan kombinasi antar akar lutut dan akar pasak.

Gambar 5. Akar lutut pada  Bruguiera

 Akar papan

Pada  Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas, sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal batang. Akar ini juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal me-mudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil.

Gambar 6. Akar papan pada  Xylocarpus granatum

Pada dasarnya sistem perakaran tumbuhan mangrove terdiri dari tiga komponen, yaitu (a) komponen aerasi, yaitu bagian akar yang mencuat ke bagian atas dari sistem perakaran dan berfungsi sebagai pertukaran gas, (b) komponen penyerapan dan penjangkaran, befungsi untuk membentuk basis penjangkaran pada seluruh sistem dan untuk melakukan penyerapan zat hara, dan (c) komponen jaringan, yaitu bagian horizontal yang meluas dan berfungsi menyatu dengan penyerapan dan penjangkaran dari sistem perakaran (Tomlinson, 1986).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 7.Skema dari berbagai tipe akar yang khas dari tumbuhan mangrove. Semuanya berkembang dari kiri ke kanan. Garis putus-putus merupakan permukaan substrat.

Akar merupakan organ yang kontak secara langsung dengan lingkungan salin, oleh karena itu akar merupakan suatu struktur dan berfungsi mengatur pengambilan dan transpor ion. Akar merupakan barrier utama terhadap pergerakan larutan ke dalam tumbuhan dan sebagai hasilnya konsentrasi ion yang diantarkan ke tunas sangat berbeda dari konsentrasi ion pada medium eksternal (Shannon et al., 1994).

Lawton et al. (1985) dalam Shannon et al. (1994) membandingkan anatomi akar dari jenis Avicennia marina yang mempunyai kelenjar garam (salt gland) pada daunnya sebagai kelompok salt-excrete dan jenis Bruguiera gymnorrhiza yang tidak mempunyai kelenjar garam pada daunnya sebagai kelompok non­secreter (salt-excluder). Perbedaan terlihat pada panjang dan tebalnya pembuluh akar, perkembangan dan posisi dari lapisan kaspari (casparian strip), dan diferensiasi jaringan vaskuler. Sub-erisasi sel endodermal dan hipodermal dari salt-excluder dimulai dan diakhiri di belakang ujung akar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Gambar 8. Rhizophora mangle. Pada bagian bawah dari sistem akar yang berkembang dari jangkar akar aerial; lentisel pada ‘kolom’ di atas permukaan substrat (garis putus­putus) (Gill dan Tomlinson, 1977 dalam Tomlinson, 1986).

Selain bentuk akar yang khas dan adanya lentisel di berbagai organ tumbuhan mangrove, kekurangan oksigen juga dapat diatasi dengan adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan, misalnya kepiting. Lubang-lubang ini membawa oksigen ke bagian akar tumbuhan mangrove (Ewusie, 1980). Kondisi ini terjadi saat air laut surut, sehingga lantai hutan mangrove saat air laut surut tersebut tidak tergenang air secara keseluruhan.

Hampir semua jenis mangrove, daun-daunnya mempunyai sejumlah kenampakan anatomi yang membatasi hilangnya uap air. Hal ini mencakup kutikula yang tebal, lapisan lilin, dan stomata yang tersembunyi, yang semuanya terdapat hanya pada permukaan abaksial dari beberapa jenis, seperti Sonneratia spp., Osbornia spp., Lumnitzera spp., dan Laguncularia spp., (Macnae, 1986 dalam Sukardjo, 1996). Anatomi daun mangrove demikian merupakan adaptasi.

 

3.  Reproduksi

Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji (spermatophyta), dan bunganya sering kali menyolok mata. Biji mangrove relatif lebih besar dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain. Biji ini seringkali telah mengalami perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar). Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu tertentu kemudian tenggelam. Lamanya periode mengapung propagul bervariasi tergantung jenisnya. Biji mangrove tertentu dapat mengapung lebih dari setahun dan tetap viabel. Pada saat mengapung biji terbawa arus ke berbagai tempat dan akan tumbuh apabila terdampar di kawasan pasang surut yang sesuai. Kecepatan pertumbuhan tergantung iklim dan ketersediaan mineral nutrien tanah. Biji yang terdampar di tempat terbuka karena pohon mangrove tua telah mati dapat tumbuh sangat cepat, sedangkan biji yang tumbuh pada tegakan mangrove mapan umumnya akan mati dalam beberapa tahun kemudian.

Gambar 9. Biji dan propagul berbagai jenis tumbuhan mangrove

 

Vivipari dan Kriptovivipari

Vivipari adalah kondisi dimana embryo pertama kali tumbuh, memecah kulit biji dan keluar dari buah pada saat masih melekat pada tumbuhan induk, misalnya pada Bruguiera, Ceriops, Kandelia dan Rhizophora. Kriptovivipari (Yunani:  kryptos, tersembunyi) adalah kondisi dimana embryo tumbuh dan memecah kulit biji, namun tidak keluar dari kulit buah hingga lepas dari tumbuhan induk, misalnya pada  Aegiceras, Avicennia dan  Nypa. Para pakar banyak berspekulasi mengenai fungsi vivipari atau kriptovivipari dalam kaitannya dengan morfologi, ekologi, dan fisiologi tumbuhan. Karena lingkungan mangrove unik ternyata dipengaruhi banyak faktor. Vivipari atau kriptovivipari tidak ditemukan pada tumbuhan halofita (tumbuhan di lingkungan salin) atau tumbuhan rawa-rawa air tawar, sehingga kondisi ini tidak disebabkan salinitas atau tanah yang jenuh air. Salah satu hipotesis adalah vivipari disebabkan karena mangrove tumbuh pada kondisi yang relatif tidak stabil, sehingga memerlukan propagul yang tahan lama dan dapat tumbuh dengan cepat, misalnya seedling Rhizophora yang berbentuk runcing seperti anak panah sering tumbuh langsung di bawah induknya karena tarikan gravitasi, meskipun hal ini dapat menyebabkan kekalahan dalam berkompetisi dengan tumbuhan induk untuk mendapatkan cahaya, hara dan lain-lain.  Melalui vivipari perkecambahan embyo dimulai sejak biji masih menempel pada pohon induk. Ketika buah jatuh sudah berupa seedling yang dapat membentuk akar pada tanah di bawahnya. Vivipari merupakan mekanisme adaptasi untuk mempersiapkan seedling tersebar jauh, dapat bertahan dan tumbuh dalam lingkungan salin. Selama pembentukan vivipari, propagul diberi makan oleh pohon induk, sehingga propagul dapat menyimpan dan mengakumulasi karbohidrat atau senyawa lain yang nantinya diperlukan untuk pertumbuhan mandiri. Struktur kompleks seedling pada awal pertumbuhan ini akan membantu aklimatisasi terhadap  kondisi fisik lingkungan yang ekstrim, dimana biji tumbuhan lain tidak dapat berkecambah secara normal. Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk, namun mengapung selama berminggu-minggu hingga jauh dari induknya. Pada kondisi tanah yang sesuai seedling ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat dalam beberapa hari. Vivipari dan propagul yang berumur panjang, menyebabkan mangrove dapat tersebar pada area yang luas.

Gambar 10. Vivipari pada Aegiceras dan Bruguiera cylindrika

Propagul

Tumbuhan mangrove memiliki biji terapung yang sesuai untuk terdispersi melalui air. Berbeda dengan kebanyakan tumbuhan, biji mangrove dapat berkecambah ketika masih melekat pada tumbuhan induk. Beberapa biji tumbuh memecah kulit buah (vivipari), seperti  Acanthus, Avicennia dan Aegiceras, sedang biji lainnya tanpa memecah-kan kulit buah (kriptovivipari), seperti Ceriops, Rhizophora,  Bruguiera, dan  Nypa untuk menghasilkan propagul, berupa seedling yang dapat terbawa air kemana-mana.  Propagul yang masak akan jatuh ke air dan tetap dormansi hingga tersangkut di tanah yang aman, menebarkan akar dan mulai tumbuh. Pembentukan propagul  Rhizophora diilustrasikan pada gambar di samping. Tumbuhan lain dalam familia Rhizophoraceae memiliki cara yang serupa, misalnya  Ceriops  dan Bruguiera. Beberapa mangrove menggunakan cara konvensional (biji normal) untuk reproduksi seperti Heritiera littoralis,  Lumnitzera,  dan Xylocarpus.

Gambar 11. Pembentukan propagul pada Rhizophora

 

4.    Suhu dan Radiasi Matahari

Penyimpanan air juga merupakan masalah penting bagi tumbuhan mangrove, karena tumbuh di tepi laut terbuka dimana kecepatan angin relatif tinggi, laju transpirasi tumbuhan mangrove juga relatif tinggi. Tumbuhan mangrove mengembangkan berbagai cara untuk mengatasi kehilangan air melalui daun. Mereka dapat mengatur pembukaan stomata dan orientasi daun, sehingga mengurangi serapan sinar matahari dan evaporasi. Sebagian tumbuhan mangrove memiliki daun keras, tebal, berlilin atau berbulu rapat untuk mereduksi hilangnya air. Beberapa daun bersifat sukulen untuk menyimpan air dalam jaringan.

Keunikan daun mangrove sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang biasanya mempunyai suhu dan radiasi sinar matahari yang tinggi terlihat pada daun-daun yang posisinya terbuka pada tajuk teratas secara tajam condong, kadang-kadang posisinya mendekati vertikal, sedangkan daun yang ternaungi yang berada jauh di antara tajuk, cenderung posisinya horizontal. Akibatnya radiasi sinar matahari terseleksi sepanjang permukaan fotosintetik luas, sementara pemasukan panas per unit luas daun dan suhu menjadi berkurang.

Oleh karena itu, walaupun lingkungan tempat tumbuh mangrove yang memiliki radiasi sinar matahari dan suhu udara yang umumnya tinggi yang mendorong laju transpirasi yang tinggi pula, namun pada kenyataannya mangrove memiliki laju traspirasi yang rendah yang disebabkan oleh adaptasi anatomi daunnya. Berdasarkan hasil pengukuran Scholander et al. (1962) dalam Tomlinson (1986) diketahui bahwa laju transpirasi vegetasi mangrove, yakni sebesar 1,5 – 7,5 mg/dm2/mnt secara nyata lebih rendah dibandingkan laju transpitasi vegetasi daratan, yakni sebesar 10 – 55 mm/dm2/mnt.

 

5.       Hubungan Bentuk Akar dan Bentuk Daun Untuk Adaptasi

Lawton et al. (1985) dalam Shannon et al. (1994) membandingkan bentuk akar dari jenis Avicennia marina yang mempunyai kelenjar garam (salt gland) pada daunnya sebagai kelompok salt-excrete dan jenis Bruguiera gymnorrhiza yang tidak mempunyai kelenjar garam pada daunnya sebagai kelompok non­secreter (salt-excluder). Perbedaan terlihat pada panjang dan tebalnya pembuluh akar, perkembangan dan posisi dari lapisan kaspari (casparian strip), dan diferensiasi jaringan vaskuler. Sub-erisasi sel endodermal dan hipodermal dari salt-excluder dimulai dan diakhiri di belakang ujung akar. Keterangan tentang bentuk akar dan daun dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

 lebih lengkapnya temen –  teman dapat download link dibawah ini: 

File Attachment: DINAMIKA EKOSISTIM MANGROVE.docx (963 KB)

http://independent.academia.edu/ayhaduck

Tidak ada komentar:

Posting Komentar